Workshop Joint Risk Assesssment (JRA) Tools Penyakit Infeksi Emerging dan Zoonosis

Kementerian Kesehatan RI melalui Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menyelenggarakan Workshop Piloting Joint Risk Assessment (JRA) Tool yang diselenggarakan pada tanggal 12 – 16 Maret 2018. Workshop ini di ikuti oleh berbagai lintas sektor dan program dari Kementerian Kesehatan, antara lain Kemenko PMK, Kemenko Polhukam, Kemenhan, Kemen LHK, Kementan, unit terkait di lingkungan Kemenkes RI, dan organisasi Internasional seperti WHO, FAO, dan OIE.

Kegiatan workshop ini di latar belakangi oleh berbagai tantangan terhadap risiko kedaruratan kesehatan di Indonesia yang salah satunya adalah Penyakit Infeksi Emerging. Dimana Penyakit Infeksi Emerging adalah salah satu bagian ancaman biologi yang perlu mendapat perhatian kesehatan global karena berpotensi menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan memerlukan respon cepat.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid dalam laporannya mengatakan bahwa tujuan dari workshop ini adalah untuk memperkenalkan konsep penilaian risiko dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap Acute Public Health Event, dan memperkenalkan instrumen Joint Risk Assesment (JRA) Penyakit Infeksi Emerging dan Zoonosis yang disusun oleh kolaborasi antara WHO dengan FAO dan OIE pada 2017, serta memberikan rekomendasi pemanfaatan instrument Joint Risk Assessment di Indonesia.

Di kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. Anung Sugihantono, M.Kes dalam sambutannya saat membuka workshop mengatakan bahwa saat ini di tingkat nasional dan global penyakit infeksi emerging muncul dari waktu ke waktu dan menjadi perhatian. Munculnya penyakit infeksi emerging ini terkait dengan beberapa hal, yaitu Pertama, faktor perilaku kita sendiri sebagai manusia yang sangat dinamis baik perilaku yang positif ataupun perilaku yang kurang menguntungkan bagi semuanya, saya ambil contoh penggunaan antibiotik dan pestisida yang berlebihan merupakan satu hal yang kemudian memicu perubahan-perubahan pada organisme yang lain mikroorganisme atau vektor yang kemudian menimbulkan persoalan-persoalan tersendiri di didalam penyakit.

Kedua, Peningkatan transportasi, globalisasi, perdagangan serta informasi, perubahan iklim juga akan mempengaruhi lingkungan dan tentunya memicu perubahan-perubahan yang berkaitan dengan mikroorganisme sendiri maupun ketahan tubuh kita sebagai manusia.

Sedangkan yang Ketiga, kata dr. Anung adalah hal yang berkaitan dengan Kerusakan lingkungan yang berdampak pada meningkatnya intensitas interaksi antara hewan dan manusia. Itulah sebabnya, sekitar 70% dari penyakit infeksi emerging yang muncul di dunia adalah penyakit zoonotik yaitu penyakit yang dapat menyerang hewan dan manusia.

Dengan adanya kejadian luar biasa beberapa penyakit infeksi emerging yang besar seperti MERS CoV pada tahun 2012, Ebola pada tahun 2014, serta Zika dan Demam kuning pada tahun 2016. Untuk Indonesia barangkali kasus Avian Influenza yang terjadi pada tahun 2006. Dunia belajar bahwa deteksi dini dan penilaian risiko untuk menghasilkan respon yang tepat menjadi penting dalam mencegah penyebaran penyakit infeksi emerging, ujar dr. Anung

Pertemuan Majelis Kesehatan Sedunia (World Health Assembly) ke-70 yang diselenggarakan pada bulan Mei 2017 menekankan pentingnya penguatan kapasitas inti dalam inmplementasi IHR untuk deteksi dini, penilaian risiko, dan respon yang tepat terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat. Upaya ini dimaksudkan mendeteksi ada-tidaknya risiko masalah kesehatan yang perlu  disikapi dengan  respon awal sebelum adanya hasil penyelidikan yang lebih lengkap. Setiap negara anggota WHO diharapkan melakukan langkah strategis untuk menghentikan setiap kali muncul risiko penyebaran penyakit infeksi emerging.

Saat ini WHO, FAO, dan OIE bersama-sama telah menyiapkan instrumen penilaian risiko bersama Joint Risk Assessment (JRA) Tool pada tahun 2017 sebagai sebuah satu kesatuan utuh konsep one health yang sudah di kenalkan sejak tahun 2006-2008 yang lalu. Bahwa kejadian-kejadian semacam ini menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena indonesia merupakan negara tropis yang terletak di khatulistiwa dengan berbagai keanakaragaman hayati interaksi antara manusia dan hewan yang sangat erat karena sering kali menjadi bagian dari kultur masyarakat bukan hanya sekedar sebagai bagian dari kerangka kebutuhan ekonomi tetapi sekaligus juga bagian dari kultur masyarakat.

“Saya mengerti betul tidak mudah pada saat dulu terjadinya avian influenza, bagaimana memindahkan atau menggeser kandang unggas di sekitar rumah ketempat yang lain, karena prespektifnya sangat beragam di masing-masing daerah”, ungkap beliau

Indonesia adalah  negara tropis yang terletak di  khatulistiwa dengan berbagai keanekaragaman hayati, interaksi antara manusia dan hewan yang erat di perdesaan dan perkotaan, serta sosio-ekonomi masyarakat yang meningkatkan risiko munculnya penyakit infeksi emerging.

Kondisi ini, kata dr. Anung perlu kita waspadai dan sikapi dengan tepat agar munculnya risiko penyakit infeksi emerging seperti Avian Influenza, MERS CoV dan Zika dapat dideteksi dan dicegah secara dini dan direspon dengan tepat. Saat ini kita memang masih menaruh perhatian kepada avian influenza tapi sesungguhnya masih ada beberapa penyakit zoonotik lain yang jadi perhatian kita semuanya, seperti leptospirosis berkaitan dengan tikus, antraks berkaitan dengan ternak besar juga menjadi perhatian kita, PES masih ada yang menjadi tantangan kita di beberapa daerah yang perlu kita cermati tapi sekaligus kita respon secara konferhensif sekali lagi dalam konsep one health.

“Saya memandang penting Joint Risk Assesssment (JRA) Tools ini betul-betul bisa kita lihat dan kita adopsi serta kita sesuaikan dengan berbagai kondisi yang ada di Indonesia. Saya mendengar dari beberapa fasilitator bahwa keberadaan Kemenko baik Polhukam maupun Kemenko PMK itu tidak ada di negara-negara yang lain. Tentu ini menjadi nilai yang lebih pada saat kita bicara tentang mekanisme koordinasi. Yang penting sekali adalah sebuah konsep Risk Assessment itu tidak hanya kemudian kita bicara respon di dalam rangka penyelesaian persoalan tapi yang lebih penting menurut saya adalah bicara tentang penyiapan dan pencegahan tidak hanya bicara pada saat kasus sudah terjadi”, ujar dr. Anung di kesempatannya.

Lanjut dr. Anung, Joint Risk Assessment (JRA) Tools ini baru dikenalkan, dan Indonesia adalah merupakan negara pertama yang di introduser dan sekaligus dikenalkan untuk hal-hal semacam ini. Tentu ini suatu hal yang positif karena sering kali kita juga melihat bahwa Indonesia ini estalase segala persoalan, seperti kebencanaan semua ada dan penyakit semua ada.

“Saya berharap JRA ini dapat dimanfaatkan serta dapat dipikirkan pula untuk mengadapatasi di dalam konteks ke Indonesia dengan tidak menghilangkan konsep dasarnya dan substansi-substansi yang memang harus ada di dalam sebuah Risk Assessment. Mekanisme koordinasi tentunya akan menjadi sebuah tantangan yang harus kita jawab dengan ke indonesiannya. Dan keberadaan berbagai develoment partner juga sebagai sebuah kesempatan dan peluang bagi kita terus meningkatkan kapasitas sekaligus melakukan hal-hal yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara”, ujar dr. Anung di akhir sambutannya.

Kementerian Kesehatan tidak menerima suap dan/atau gratifikasi dalam bentuk apapun. Jika terdapat potensi suap atau gratifikasi silahkan laporkan melalui HALO KEMENKES 1500567 dan https://wbs.kemkes.go.id

Berita Terkait lainnya >

Posting Terbaru >