PERTEMUAN INTEGRASI EVALUASI, VALIDASI DATA DAN PERENCANAAN DIREKTORAT P2PML

Berbagai penyakit menular langsung masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, bukan hanya masalah tingginya angka kesakitan dan kematian tapi juga kejadian kecacatan yang disebabkan penyakit tersebut. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung yang komprehensif telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu dan Pemerintah telah berkomitmen untuk mencegah dan mengendalikan penyakit menular langsung dengan menetapkan indikator RPJMN, Renstra dan Program Prioritas Nasional.

Selasa (6/4) Direktorat P2PML melaksanakan Pertemuan Integrasi Evaluasi, Validasi Data dan Perencanaan Direktorat P2PML di Bogor Jawa Barat.  Kegiatan ini bertujuan untuk sosialisasi update kebijakan dan program, monitoring evaluasi, mendapatkan masukan-masukan dari pelaksana program di daerah, melakukan validasi data, identifikasi potensi daerah seperti sumber daya termasuk sumber daya manusia, pendanaan dalam pelaksanaan program guna tercapainya target-target yang telah ditetapkan.

Dalam presentasinya, Direktur P2PML, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyajikan berbagai data dan kebijakan program PTML, ISPA, dan HPISP tahun 2021. Berdasarkan data yang ada, terdapat total 146 kabupaten/ kota belum mencapai eliminasi kusta dari total 514 kab / kota tersebar di 26 provinsi. Pada tingkat provinsi, terdapat 8 provinsi yang masih belum eliminasi kusta. Kasus kusta masih tersebar di ± 7.548 desa/ kelurahan/ kampung, mencakup wilayah kerja ± 1.975 Puskesmas, di ± 341 Kabupaten / Kota di seluruh Provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang sudah mencapai eliminasi kusta, ternyata masih tetap memiliki kasus kusta.

Pencegahan dan pengendalian frambusia saat ini sudah memasuki fase terakhir dari pemberantasan penyakit yaitu fase eradikasi. Untuk memperkuat langkah – langkah menuju Eradikasi Frambusia telah ditetapkan Permenkes Nomor 8 Tahun 2017 tentang Eradikasi Frambusia.

Begitupun dengan Infeksi Hepatitis B dan Hepatitis C yang juga masih merupakan penyebab sebagian besar penyakit hepatitis, sirosis, dan kematian terkait penyakit hati. Setiap tahun, virus hepatitis mengakibatkan kematian sekitar 410.000 kematian dengan 78% dari total kematian berkaitan dengan kanker hati dan sirosis akibat hepatitis B dan C. Indonesia, Bangladesh, India dan Thailand masuk dalam kategori endemisitas menengah.

Sirosis hati akibat hepatitis merupakan salah satu dari 8 penyakit berbiaya tinggi dan memiliki komplikasi yang mengancam nyawa (penyakit atas trofik) yang menjadi focus penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara keseluruhan, biaya pertanggungan BPJS Kesehatan selama 2014-2016 untuk infeksi Hepatitis B berjumlah 151 milyar rupiah, dan 43 milyar rupiah untuk infeksi Hepatitis C.  Dengan demikian, peningkatan upaya promotif dan preventif (kegiatan deteksi dini, pemberian vaksin ataupun pengobatan sebagai pencegahan) dalam Program Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis dapat berkontribusi signifikan pada efisiensi sumber daya finansial. Oleh karena itu, program pencegahan dan pengendalian Hepatitis Kronis menjadi salah satu focus dalam RPJMN 2020-2024 dalam upaya menurunkan insidens Hepatitis B di Indonesia, sedangkan untuk Diare di Indonesia, juga berkontribusi besar dalam menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita. Dari berbagai survei, diare merupakan penyebab kematian tertinggi bersama Pneumonia pada bayi dan balita. Oleh karena itu, pengendalian diare untuk meningkatkan status kesehatan anak, sebagaimana yang tertuang dalam sasaran pokok RPJMN 2020 – 2024, yaitu meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak, penting untuk dilakukan.

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut, khususnya pneumonia sampai saat ini masih sebagai penyebab kematian terbesar pada bayi dan Balita. Di dunia pada tahun 2012 diperkirakan lebih dari 1,1 juta Balita meninggal karena pneumonia (2 Balita/menit) dari 6.5 juta total kematian Balita. Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini. Data  Riskesdas (2007) menyebutkan bahwa Pneumonia menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian bayi (23,8%) dan Balita (15,5%).

Selain pneumonia Balita, pengendalian ISPA juga dihadapkan dengan penyakit saluran pernapasan lain yang dapat mengakibatkan kedaruratan masyarakat dan menjadi perhatian dunia (Public Health Emergency International Concern-PHEIC) seperti Influenza. Influenza adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh virus Influenza dan berpotensi menjadi pandemi. Pandemi influenza dapat menyebabkan keresahan publik yang mengakibatkan dampak sosial, ekonomi dan politik serta pertahanan dan keamanan negara. Sehingga dibutuhkan kesiapsiagaan dan respon terhadap terjadinya pandemi Influenza.

Oleh karena itu, dr. Siti Nadia berharap melalui pertemuan ini dapat meningkatkan kemampuan kapasitas dalam menyusun, mengevaluasi dan merencanakan masing-masing program, sehingga target-target program yang telah ditetapkan dapat tercapai.

Adapun narasumber pertemuan terdiri dari Kapusdiklat PPSDM, P2JK, Prof. Hanifah Oswari, SpA(K), Dr.dr. Irsan Hasan, Dit Kesga, Dit Surkarkes, Dit. Gizi, IDAI, PAPDI, NLR, dan staf ahli dari masing-masing program.